Senin, 20 April 2009

Tanda-Tanda Menjelang Ajal

Baginda Rasullullah S.A.W bersabda: “Apabila telah sampai ajal seseorang itu maka akan masuklah satu kumpulan malaikat ke dalam lubang-lubang kecil dalam badan dan kemudian mereka menarik rohnya melalui kedua-dua telapak kakinya sehingga sampai ke lutut.


Setelah itu datang pula sekumpulan malaikat yang lain masuk menarik roh dari lutut hingga sampai ke perut dan kemudiannya mereka keluar. Datang lagi satu kumpulan malaikat yang lain masuk dan menarik rohnya dari perut hingga sampai ke dada dan kemudiannya mereka keluar. Dan akhir sekali datang lagi satu kumpulan malaikat masuk dan menarik roh dari dadanya hingga sampai ke kerongkong dan itulah yang dikatakan saat nazak orang itu.”


Sambung Rasullullah S.A.W. lagi:“Kalau orang yang nazak itu orang yang beriman, maka malaikat Jibril A.S. akan menebarkan sayapnya yang disebelah kanan sehingga orang yang nazak itu dapat melihat kedudukannya di syurga. Apabila orang yang beriman itu melihat syurga, maka dia akan lupa kepada orang yang berada disekelilinginya. Ini adalah kerana sangat rindunya pada syurga dan melihat terus pandangannya kepada sayap Jibril A.S.”


Kalau orang yang nazak itu orang munafik, maka Jibril A.S. akan menebarkan sayap disebelah kiri. Maka orang yang nazak tu dapat melihat kedudukannya di neraka dan dalam masa itu orang itu tidak lagi melihat orang di sekelilinginya. Ini adalah kerana terlalu takutnya apabila melihat neraka yang akan menjadi tempat tinggalnya.


Dari sebuah hadis bahwa apabila Allah S.W.T. menghendaki seorang mukmin itu dicabut nyawanya maka datanglah malaikat maut. Apabila malaikat maut hendak mencabut roh orang mukmin itu dari arah mulut maka keluarlah zikir dari mulut orang mukmin itu dengan berkata:“Tidak ada jalan bagimu mencabut roh orang ini melalui jalan ini kerana orang ini sentiasa menjadikan lidahnya berzikir kepada Allah S.W.T.”


Setelah malaikat maut mendengar penjelasan itu, maka dia pun kembali kepada Allah S.W.T. dan menjelaskan apa yang diucapkan oleh lidah orang mukmin itu. Lalu Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud:“Wahai malaikat maut, kamu cabutlah ruhnya dari arah lain.”


Sebaik saja malaikat maut mendapat perintah Allah S.W.T. maka malaikat maut pun cuba mencabut roh orang mukmin dari arah tangan. Tapi keluarlah sedekah dari arah tangan orang mukmin itu, keluarlah usapan kepala anak-anak yatim dan keluar penulisan ilmu.
Maka berkata tangan: “Tidak ada jalan bagimu untuk mencabut roh orang mukmin dari arah ini, tangan ini telah mengeluarkan sedekah, tangan ini mengusap kepala anak-anak yatim dan tangan ini menulis ilmu pengetahuan.”


Oleh kerana malaikat maut gagal untuk mencabut roh orang mukmin dari arah tangan maka malaikat maut cuba pula dari arah kaki. Malangnya malaikat maut juga gagal melakukan sebab kaki berkata: “Tidak ada jalan bagimu dari arah ini kerana kaki ini sentiasa berjalan berulang alik mengerjakan solat dengan berjemaah dan kaki ini juga berjalan menghadiri majlis-majlis ilmu.”


Apabila gagal malaikat maut, mencabut roh orang mukmin dari arah kaki, maka malaikat maut cuba pula dari arah telinga. Sebaik saja malaikat maut menghampiri telinga maka telinga pun berkata:”Tidak ada jalan bagimu dari arah ini kerana telinga ini sentiasa mendengar bacaan Al-Quran dan zikir.”
Akhir sekali malaikat maut cuba mencabut orang mukmin dari arah mata tetapi baru saja hendak menghampiri mata maka berkata mata:”Tidak ada jalan bagimu dari arah ini sebab mata ini sentiasa melihat beberapa mushaf dan kitab-kitab dan mata ini sentiasa menangis kerana takutkan Allah.” Setelah gagal maka malaikat maut kembali kepada Allah S.W.T.

Kemudian Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud : “Wahai malaikatKu, tulis AsmaKu ditelapak tanganmu dan tunjukkan kepada roh orang yang beriman itu.” Sebaik saja mendapat perintah Allah S.W.T. maka malaikat maut menghampiri roh orang itu dan menunjukkan Asma Allah S.W.T. Sebaik saja melihat Asma Allah dan cintanya kepada Allah S.W.T maka keluarlah roh tersebut dari arah mulut dengan tenang.


Abu Bakar R.A. telah ditanya tentang kemana roh pergi setelah ia keluar dari jasad. Maka berkata Abu Bakar R.A:”Roh itu menuju ketujuh tempat :
-Roh para Nabi dan utusan menuju ke Syurga Adnin.
-Roh para ulama menuju ke Syurga Firdaus.
-Roh mereka yang berbahagia menuju ke Syurga Illiyyina.
-Roh para shuhada berterbangan seperti burung di syurga mengikut kehendak mereka.
-Roh para mukmin yang berdosa akan tergantung di udara tidak di bumi dan tidak di langit sampai hari kiamat.
-Roh anak-anak orang yang beriman akan berada di gunung dari minyak misik.
-Roh orang-orang kafir akan berada dalam neraka Sijjin, mereka diseksa berserta jasadnya hingga sampai hari Kiamat.”


Telah bersabda Rasullullah S.A.W: Tiga kelompok manusia yang akan dijabat tangannya oleh para malaikat pada hari mereka keluar dari kuburnya:
-Orang-orang yang mati syahid.
-Orang-orang yang mengerjakan solat malam dalam bulan ramadhan.
-Orang berpuasa di hari Arafah.


Tanda-Tanda Menjelang Ajal
Tanda 100 Hari Sebelum Meninggal:
Ini adalah tanda pertama dari Tuhan kepada hambanya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendakinya. Semua orang akan mendapat tanda ini, hanya saja banyak yang tidak menyadarinya.
Tanda ini akan berlaku lazimnya selepas waktu Ashar, seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil, contohnya seperti daging lembu yang barusaja disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti, kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar….
Tanda ini rasanya nikmat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik di hati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini.
Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian, tanda ini akan lenyap begitu saja tanpa ada manfaat.
Bagi yang sadar dengan kehadiran tanda ini, maka ini adalah peluang terbaik untuk memanfaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudahmati.


Tanda 40 hari Sebelum Meninggal:
Tanda ini juga akan berlaku sesudah waktu Ashar, bahagian pusat kita akan berdenyut-denyut pada ketika ini daun yang tertulis nama kita akan gugur dari pokok yang letaknya diatas arash ALLAH SWT, maka malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai membuat persediaannya ke atas kita, antaranya ialah ia akan mulai mengikuti kita sepanjang masa
Akan terjadi malaikat maut ini memperlihatkan wajahnya sekilas lalu dan jika ini terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung dan linglung seketika…
Adapun malaikat maut ini wujudnya cuma seorang tetapi kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang akan dicabutnya.


Tanda 7 Hari Sebelum Meninggal:
Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah kesaktian dimana orang sakit yang tidak makan, secara tiba-tiba ia berselera untuk makan…


Tanda 3 Hari Sebelum Meninggal:
Pada ketika ini akan terasa denyutan di bahgian tengah dahi kita yaitu diantara dahi kanan dan kiri, jika tanda ini dapat dikesan maka berpuasalah kita selepas itu supaya perut kita tidak mengandungi banyak najis dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan kita nanti.
Ketika ini juga mata hitam kita tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan jatuh dan ini dapat dikesan jika kita melihatnya dari bahagian sisi…
Telinganya akan layu, bagian ujungnya akan berangsur-angsur masuk ke dalam.
Telapak kakinya yang terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakan.


Tanda 1 Hari Sebelum Meninggal:
Akan berlaku sesudah Ashar ketika kita akan merasakan satu denyutan di sebelah belakang yaitu di kawasan ubun-ubun dimana ini menandakan kita tidak akan sempat untuk menemui waktu ashar keesokan harinya….


Tanda Akhir Hidup:

Akan terjadi keadaan bahwa kita akan merasakan sejuk di bagian pusat dan rasa itu akan turun kepinggang dan seterusnya akan naik ke bagian Halkum. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimat SYAHADAT dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikat maut untuk menjemput kita kembali kepada-Nya yang telah menghidupkan kita dan sekarang akan mematikan pula.

Gadis itu bernama Aisha


"Berdasarkan kisah nyata… hanya namanya yang berubah. tidak ada maksud menggurui. hanya ingin mengenang. dan semoga kalian semua ingat apa yang sudah para pahlawan lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia."


Jakarta, 1999
Sastro terbaring di atas ranjang berbalut seprai putih sambil bersenandung. Cucu perempuannya tampak membaringkan kepalanya di sisi kakeknya ikut menikmati nyanyiannya walaupun gadis kecil itu jelas tidak mengenal lagunya. Sekali lagi, si cucu menyodorkan sebuah Juz Amma untuk kakeknya. Sastro hanya tersenyum, tahu akan apa yang bakal dikatakan cucunya.
“Ayo kek, Aisha ajarin baca Al-Fatihah ya” pintanya polos dengan mata berharap.
“lagi? Kemarin kan sudah…” elak Sastro dengan nada bercanda, walau suaranya terdengar parau, akibat tubuhnya yang kian melemah.
“kemarin kan kakek belum selesai bacanya” protes Aisha sebal.
“kakek ngantuk Aisha, kakek kan sakit” elak Sastro lagi kemudian langsung membalikkan tubuhnya pura-pura mendengkur.
Aisha tidak melanjutkan protesnya, dia percaya kakeknya benar-benar tidur. Gadis kecil itu berjinjit untuk mencium kening kakeknya dengan sayang.
“maafin Aisha ya udah ganggu kakek, met bobo” Sastro tetap pura-pura tidur.

Sebenarnya Sastro sudah sejak lama hafal Al-Fatihah, bahkan hampir seluruh isi Al-Quran dia hapal. Bukankah dulunya dia seorang guru ngaji sebelum masuk tentara? Sastro serta merta teringat peristiwa lalu, kejadian pahit yang telah merubah hidupnya.
Aceh, 1953.
Peristiwa DI/TII, dimana sekelompok ekstrimis sedang memperjuangkan terwujudnya Indonesia sebagai negara Islam. Cuaca ketika itu mendung dengan angin berhembus kencang. Tampak para pejuang kedaulatan Indonesia sedang berpatroli di sekitar barak mereka yang sederhana.
Pakaian mereka tampak lusuh bersaput debu mesiu serta darah yang mengering. Janggut dan rambut juga dibiarkan tumbuh tanpa dicukur. Sastro ketika itu berpangkat letnan, sepuluh orang tentara muda menjadi tanggung jawabnya. Bedil senantiasa di tangan dan mata selalu awas berjaga.
“sudah enam hari” kata rekannya yang bernama Basri sambil memainkan pisau.
“kau rindu dengan istrimu?” ledek Sastro.
“ngaco kamu, aku hanya kangen merokok, mulutku sepat rasanya” elak Basri.
“di belantara begini mana ada yang menjual rokok” tanggap Sastro terkekeh.
“aku ingin mencari di rimbunan semak sana. Pasti ada pohon tembakau walaupun cuma sebatang” kata Basri menunjuk sekumpulan tanaman lebat tak tertembus cahaya.
“tapi lumayan jauh dari perkemahan kita, berbahaya kalau kamu pergi sendiri” cegah Sastro yang ditanggapi Basri dengan tawa.
“sudah berapa tahun kau jadi tentara? tahukah kau berapa kali peluru nyaris membunuhku? Bah! Takdir di tangan Allah! Sudahlah kalau kau begitu khawatir kau ikut saja denganku” sahut Basri.
Sastro memandang kawan-kawannya yang tampak berjaga. Terbesit perasaan ragu dalam dirinya. Memang bukan sekali ini dia ikut berperang. entah berapa kali dia nyaris mati dalam perjuangannya. Tapi kali ini entah mengapa hatinya terasa berat sekali untuk mengikuti Basri.
“kau mau ikut tidak?” Tanya Basri lagi. Dia akhirnya memutuskan untuk ikut. Sastro tahu Basri keras kepala, kalau sahabatnya mati, Sastro tidak akan pernah memaafkan dirinya. Siapa tahu para pemberontak itu akan membunuh Basri ketika dia sendirian.
Benar kata basri, beberapa batang pohon tembakau tampak tumbuh tegar di sana. Basri mengincar daun-daun yang sudah mengering, agar bisa langsung dilinting untuk dibakar.
“ah nikmatnya” Basri menghela kepulan asap racun keluar dari paru-parunya. Baru saja mereka berpikir untuk kembali ke barak. Tiba-tiba terdengar samar suatu letusan senjata. Pertanda markas mereka tengah diserang.
“Bedebah!” maki Basri sambil melemparkan lintingan tembakau yang susah payah dia dapatkan. Sastro gemetar karena firasatnya terbukti. Teman-temannya dalam bahaya.
Dan ketika mereka kembali ke tenda semua sudah terlambat. Sastro meraung murka karena para musuhnya berhasil kabur. Gerilyawan pemberontak itu juga meninggalkan tanda mata untuk Sastro dan tentara lain yang tersisa. Kepala-kepala tanpa tubuh, ditancapkan pada ruas-ruas bambu menghiasi tenda mereka.
“mereka datang dengan pasukan yang tiga kali lipat lebih banyak dari kita” seorang anak buahnya menyeret tubuhnya yang terluka untuk melaporkan kejadian tadi kepada atasannya.
Sastro memeluk tubuh-tubuh tak bernyawa itu dengan air mata berlinang. Sementara Basri dan prajurit lain yang tersisa mencoba menenangkannya.
“Ini perang Sastro…” Rintih Basri.
“tidak hanya kita yang kehilangan, mereka juga…” tambah yang lain walau semua itu tidak berpengaruh bagi Sastro.
Sastro mengelilingi perkemahan, menyaksikan mimpi buruk yang paling dihindarinya. Mayat-mayat bergelimpangan, kepala terpenggal, usus berhamburan.
Sastro tidak habis pikir. Mereka Islam, tapi mereka tersesat terlampau jauh. Sebagai mantan guru ngaji dia sangat mengerti aturan peperangan. kalau mereka memang memahami kitab suci mereka tidak mungkin berani menyiksa musuhnya sedemikian rupa. Mereka seharusnya tahu kalau jiwa mereka yang membunuh di peperangan karena amarah dan nafsu tidak akan diterima di surga. Sastro gelap mata. Pikirannya tertutup amarah.
“aku tidak mau Sholat lagi! Aku tidak mau disamakan seperti mereka!” Teriaknya berulang-ulang.
“Astaghfirullah Sastro..Istighfar” ujar Basri untuk menenangkannya. Tapi otak Sastro sudah lebih dulu tersaput dendam.

Jakarta, 1999.
Sastro meneteskan air mata. Dia kini sudah menjadi kakek renta yang sedang menunggu ajal. Tubuh yang dulunya tegap berisi kini tinggal tulang berbalut kulit. dia takut mati. Dosanya terlampau besar. Dia malu terhadap sang pencipta.
Salah seorang anaknya mendekati ranjang. Dialah ibu dari Aisha. Gadis kecil yang tidak pernah jera meminta kakeknya mengaji.
“pak…” putrinya memandangnya lekat-lekat, ingin memulai pembicaraan. Tampak matanya sembab seperti habis menangis.
“dokter bilang umur bapak tidak lama lagi kan?” tebak Sastro. Putrinya menggeleng lemah.
“dokter tidak bilang begitu, dia hanya bilang kalau bapak sakit parah dan sulit diobati”
“itu sama saja” tanggap Sastro sambil tersenyum pahit. Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangan matanya mengabur seakan ada ribuan kunang-kunang mengitari dirinya. dia lalu mengenang hidupnya yang tidak pernah membosankan.
Selama sisa hidupnya sastro dikenal sebagai orang yang baik. Dia tidak pernah mabuk-mabukan. Dia tidak pernah main perempuan. Dia selalu berkurban setiap Idul Adha. Dan Entah sudah berapa Mushola di Jakarta yang terus berdiri dan kokoh berkat sumbangan darinya.
Satu yang Sastro sesali adalah dia tidak pernah Sholat. Rasa ego dan janji bodohnya di masa lalu yang menyatakan tidak mau lagi menginjak sajadah membuatnya malu terhadap Sang Pencipta. Dia takut ibadahnya tidak diterima. Kini dia bahkan hampir lupa bagaimana caranya Sholat.
“pak…” sapa putrinya yang segera membuyarkan lamunannya.
“bapak belajar Sholat ya?” lanjut putrinya. Sastro cukup terkejut, karena selama ini putrinya seakan tidak pernah mempermasalahkan keislamannya. Sastro diam saja.
“bapak sudah tahu dari dulu kan kalau mereka yang membunuh anak buah bapak secara sadis waktu perang dulu, sebenarnya adalah orang-orang yang tidak paham sama agamanya sendiri?” Sastro terbatuk, dia terkejut.
“kamu kok tahu nak?” Tanya Sastro. Putrinya hanya tersenyum menenangkan.
“beberapa tahun lalu pak Basri pernah cerita sama Lala, bapak jangan terus mendendam. Bapak jangan terpengaruh sama masa lalu. Percayai hati nurani bapak saja…” ujar Lala putrinya sabar. Sastro kembali membisu selama beberapa detik.
“Bapak malu nak…” kata sastro akhirnya. Sebelum Lala sempat menanggapi. Pintu kamar Sastro terbuka. Dan masuklah Aisha, gadis kecil yang terus meneror Sastro selama beberapa tahun ini.
“eh kakek udah bangun, sini Aisha ajarin baca Al-fatihah” Sastro merasa kehangatan tiba-tiba merayap di tubuhnya.“boleh, tapi ajarinnya pelan-pelan ya” Sastro berharap, ketika ajalnya menjemput. Dia bisa pergi dengan perasaan bangga.


****

Fr: Dien Rahmi Izzaty (My Sister)

Selamat Jalan Mas...


Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"
"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"
"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamu’alaikum!"seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.
"Matiin kasetnya!"kataku sewot.
"Lho memangnya kenapa?"
"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.
"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"
"Bodo!"
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."
"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"
"Pokoknya kedengaran!"
"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"
"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"
"Lain gimana Ma?"
"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"
Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."
Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"
"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"
Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"
Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."
Mas Gagah tersenyum.
"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
"Mau kemana Gita?"
"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."
"Ikut Mas aja yuk!"
"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
"Mbak Ana?"
"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah."
"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"
"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.
‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"
"Buku apa?"
"Tumben kamu pingin tahu?"
"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.
"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.
"Maaas…"
"Apa Dik Manis?"
"Gita akhwat bukan sih?"
"Memangnya kenapa?"
"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Mas kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.
"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan."Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika."Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.
"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"
"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "
"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg!" telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"
"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.
"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.
"Mas Gagaaaaahhhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."
"Gita…" suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
"Gi..ta…"Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
"Gita di sini, Mas…"Perlahan kelopak matanya terbuka.
"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?"
"Ya, insya Allah akhwat!"
"Yang bener?"
"Iya, dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"
"Kok nanya gitu sih?"
"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"
"Ganteng kan?"
"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong, jihad itu…"


Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Gagah!


***

"fr: Helvi Tyana Rosa"

Pudarnya Pesona Cleopatra

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal. “Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu,” kata ibu.
“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,” ucap beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi di hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli !” kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.


***
Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab, “tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga.”
Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “Kenapa Mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa Mas sudah tidak mencintaiku,” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.
“Wallahu a’lam,” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Mas ucapkan akad nikah?”
“Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa Mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini,” Raihana mengiba penuh pasrah.
Aku menangis menitikkan air mata, bukan karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku, menyiapkan segalanya untukku.


***
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir.
“Mas tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih,” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. ”Mas airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri di depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan wedang jahe.” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. “Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. ”Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”.
“Biasanya dikerokin,” jawabku lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin,” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengeroki punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra.


Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya. “Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu,” kata Ratu Cleopatra. “Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu.” Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba “Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya,” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.
Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.


***
“Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang,” suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. “Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,” panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.
“Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil ‘dinda’. Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat
bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana
dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar di bibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?” Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.
Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan aqiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik di kampusnya dan hafal al-Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku.
Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu,” kata ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya, “Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke rumahnya.
Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, “Mas, untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh di bawah bantal, nomor pin-nya sama dengan tanggal pernikahan kita.”
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.

Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa Arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.
Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa Arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. ”Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi.
“Alhamdulillah, sudah,” jawabku.
“Dengan orang mana?”.
“Orang Jawa.”
“Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.
“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.
“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”
“Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.
“Bagaimana itu bisa terjadi?.”
“Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Di sana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al-Azhar yang hafal al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S-1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali, Yasmin tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir.”
Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang.”
Mendengar cerita Pak Qalyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala di dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan di bawah bantal. Di bawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.
Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah Kau muliakan hamba dengan al-Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba,” tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa, “Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu, melabuhkan derita jiwa ini ke hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangannya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.
“Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa
sebenarnya yang telah terjadi.
“Raihana…, istrimu….istrimu dan anakmu yang di kandungnya”.
“Ada apa dengan dia?”
“Dia telah tiada.”
“Ibu berkata apa!”
“Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”. Hatiku bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”.

“Ketika Raihana di bawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, jadi maafkanlah kami.”Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru di kuburan pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.

***
"Kutipan dari Novel: Habiburrahman El Shirazy, Pudarnya Pesona Cleopatra"

Indahnya Lailatul Qadar...


Surah Al-Qadr adalah surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian diantara mereka, menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah. Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan (demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya --yakni surah Al-Qadr ini-- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Laylat Al-Qadr -- satu malam yang oleh Al-Quran dinamai "lebih baik daripada seribu bulan".Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran, bahwa " Ada suatu malam yang bernama Laylat Al-Qadr" (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah "malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan" (QS 44:3).

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena Kitab Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr.Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Al-Haqqah .. 'illiyyun, dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari ketiga belas kali ma adraka itu terdapat tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma laylat al-qadr.Kalau dilihat pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh Al-Quran dalam tiga ayat.Wa ma yudrika la 'alla al-sa'ata takunu qariba (Al-Ahzab: 63)Wa ma yudrika la'alla al-sa'ata qarib ... (Al-Syura:17)Wa ma yudrika la allahu yazzakka (Abasa: 3). Dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Secara gamblang, Al-Quran --demikian pula Al-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Itu semua berarti bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban. Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44:3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.Kemuliaan Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).Sempit Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).Ketiga arti tersebut, pada hakikatnya, dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan?
Namun demikian, sebelum melanjutkan pembahasan tentang hakikat dan hikmah Laylat Al-Qadr, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya, apakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu.Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Laylat Al-Qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi.Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Laylat Al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadha.n. Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam gazal setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Laylat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.Nah, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu --hemat penulis-- keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya.Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktikkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh memberikan ilustrasi berikut:"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.[b][i] Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak."Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw., menganjurkan sambil mengamalkan i 'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga, di masjid, seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan.Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr itu yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: Rabbana atina fial-dunya hasanah, wa fi al-akhirah hasanah wa qina 'adzab al-nar(Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak. Kalau yang demikian itu diraih oleh manusia, maka jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Karena itu, tidak heran jika kita mendengar jawaban Rasul saw. yang menunjuk kepada doa tersebut, ketika istri beliau 'A'isyah menanyakan doa apa yang harus dibaca jika ia merasakan kehadiran Laylat-Al-Qadr? Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A.Menggapai Laylatul Qadar[1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. [2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. LAILATUL Qodar adalah salah satu keutamaan bulan Ramadhan. Secara etimologis (harfiyah), Lailatul Qadar terdiri dari dua kata, yakni lail atau lailah yang berarti "malam hari" dan qadar yang bermakna "ukuran" atau "ketetapan". Secara terminologis (maknawi), Lailatul Qodar dapat dimaknai sebagai "malam yang agung" atau "malam yang mulia".Ada juga yang mengatakan bahwa Lailatul Qodar adalah malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Diturunkannya Alquran pada malam itu dipahami sebagai penetapan jalan hidup manusia yang harus dilalui, dengan panduan Alquran.Lalu, apakah sebenarnya Lailatul Qodar itu? Yang pasti, Allah SWT menjelaskan, Lailatul Qodar itu lebih utama dari seribu bulan (83 tahun). Pada malam itu, para malaikat turun ke bumi dengan izin-Nya, sehingga sepanjang malam itu tersebar keselamatan bagi penduduk bumi hingga terbit fajar (QS. Al-Qodar: 1-5).Dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik, Rasulullah SAW menegaskan, "Sesungguhnya Allah mengaruniakan Lailatul Qodar hanya untuk umatku dan (Allah) tidak memberikannya kepada umat-umat sebelumnya".Menurut Anas bin Malik, keutamaan Lailatul Qodar adalah berupa ibadah - seperti shalat, tilawah, dzikir, dan amal sosial (seperti zakat, infak, sedekah) - yang dilakukan pada malam itu dan nilainya lebih baik dibandingkan amal serupa selama seribu bulan. Lalu untuk urusan apa para malaikat termasuk Jibril turun ke bumi pada malam itu? Sebagaimana sabda Rasul yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas, pada malam itu para malaikat turun ke bumi untuk menghampiri dan mengucapkan salam kepada hamba-hamba Allah yang sedang beribadah. Pada malam itu, pintu-pintu langit dibuka dan Allah menerima taubat hamba-Nya. Keutamaan Lailatul Qodar tersebut sungguh menggiurkan. Wajar bila kedatangannya begitu didambakan setiap Muslim. Menariknya, Allah dan Rasul-Nya tidak menentukan kapan malam itu tiba, sehingga upaya perburuan Lailatul Qodar di bulan Ramadhan menjadi fenomena tersendiri di kalangan umat Islam.Para ulama berbeda pendapat tentang kapan persis terjadinya Lailatul Qodar karena beragamnya informasi hadis Rasulullah serta pemahaman para sahabat. Pendapat pertama menyebutkan Lailatul Qodar mungkin terjadi pada malam ke-27 sebagaimana hadis riwayat Iman Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi. Pendapat kedua menyebut malam 17 Ramadhan, malam diturunkannya Alquran (Nuzulul Quran). Pendapat ketiga menyatakan, Lailatul Qodar terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan, sebagaimana sabda Rasul, "Carilah Lailatul Qodr pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan" (HR. Bukhari, Muslim, dan Baihaqi). Hadis lain menyebutkan malam penuh keberkahan itu terjadi pada malam tanggal 21 Ramadhan atau tanggal 23 Ramadhan. Ada juga hadits yang menyebutkan Lailatul Qodar bisa dicari pada tujuh malam terakhir (HR Bukhari dan Muslim).Sebagai pegangan, kita bisa menarik kesimpulan, Lailatul Qodar terjadi pada malam ganjil dalam sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dengan demikian, "perburuan" malam itu bisa dilakukan mulai malam ke-21 hingga ke-29 Ramadhan. BAGAIMANA kita bisa mengenali Lailatul Qodar? Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, meriwayatkan, Rasulullah SAW menerangkan, tanda-tanda Lailatul Qodar itu antara lain suasana malam itu terasa jernih, terang, tenang, cuaca sejuk, tidak terasa panas, tidak juga dingin. Pada pagi harinya matahari terbit dengan jernih, terang-benderang, tanpa tertutup awan. Namun demikian, tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailatul Qodar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan batinnya, sehingga benar-benar menikmati kedekatan dengan Allah melalui amal ibadah pada malam itu. Teknik "perburuan" yang dicontohkan Rasul adalah dengan melakukan i'tikaf di masjid dalam sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Demi menggapai Lailatul Qodar itu, umat Islam diizinkan untuk hidup seperti pertapa, mengurung diri di dalam masjid, menyibukkan diri dengan sholat, dzikir, doa, mengkaji Alquran dan Sunnah, serta menjauhi segala urusan duniawi.Sebenarnya, seluruh malam bulan Ramadhan adalah waktu untuk mendapatkan Lailatul Qodar itu. "Perburuan" terhadap malam kemuliaan itu hendaknya dilakukan sejak malam pertama bulan Ramadhan. Tak sehari pun berlalu tanpa amal shalih. Ibarat seorang pesepakbola profesional yang terus berlatih dan bermain, setiap hari, minimal untuk menjaga kondisi tubuh dan teknik memainkan bola, meski tidak ada pertandingan resmi. Atau ibarat sebuah tim sepakbola yang harus melalui babak penyisihan dengan baik. Memandang setiap pertandingan sebagai final. Hanya tim terlatih dan terbaik yang bisa meraih juara.Dengan demikian, Lailatul Qodar hanya akan ditemui oleh mereka yang mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailatul Qodar hanya akan diraih oleh orang-orang tertentu yang berakhlak mulia dan memuliakan hari-harinya dengan menjalankan syariat Islam.Jika kita ditakdirkan Allah menemui Lailatul Qodar, doa pertama yang dipanjatkan adalah "Ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pemaaf, suka memaanfkan, maka maafkanlah kesalahanku" (Allahumma innaka 'afuwun tuhibul afwa fa'fu 'anni). Itulah yang diajarkan Rasulullah kepada Aisyah ketika ia bertanya: "Wahai Rasulullah, bila aku ketahui kedatangan Lailatul Qodar, apa yang mesti aku ucapkan"? (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi).Orang yang menemui Lailatul Qodar akan berubah kehidupannya menjadi jauh lebih baik. Para malaikat yang menemu jiwanya malam itu, akan tetap hadir memberikan bimbingan dalam mengarungi samudera kehidupan hingga akhir hayatnya. Dengan hadirnya "semangat kebaikan" yang dibisikkan malaikat itu, bisikan nafsu dan syetan yang hadir dalam jiwa setiap manusia akan terpinggirkan. Ia takkan mampu menembus dinding tebal bisikan kebaikan malaikat. Singkatnya, orang yang jiwanya dikendalikan bisikan malaikat, yang fondasinya tertanam pada malam Lailatul Qodar, jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan.Pandangan demikian mendapatkan "pembenaran sejarah". Kita tahu, Lailatul Qodar yang ditemui Muhammad SAW pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang kondisi diri sendiri dan masyarakat. Saat kebeningan hati tercipta, turunlah "Ar-Ruh" (Malaikat Jibril) membawa wahyu, sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup Muhammad SAW dan umatnya. Wallahu a'lam. (ASM. Romli).RioLWaktu dan tanda tanda kedatangan malam Lailatul QadarDari Ibnu Umar ra, ada beberapa orang sahabat Nabi Saw yang bermimpi bahwa Lailaitul Qadar akan datang pada pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda: "Aku juga melihat ru'yah kalian pada tujuh malam terakhir bulan tersebut. Maka barang siapa yang menginginkannya, dapatkanlah malam tersebut pada tujuh malam terakhir"Lailatul Qadar mempunyai kedudukan yang istimewa dalam Islam, karena malam tersebut diakui sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam tersebut turunlah para malaikat (termasuk malaikat Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam tersebut akan penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.Seperti halnya kematian, malam Lailatul Qadar juga dirahasikan keberadaannya oleh Allah supaya manusia mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah dan mengingatnya dengan tetap mawas diri setiap saat, selalu berbuat kebaikan dan taat kepada Tuhannya."Aku juga melihat Lailatul Qadar dalam mimpi seperti kalian yaitu pada tujuh malam terakhir" (dengan mempergunakan kalimat Tawaata'a). Hadis ini bersinggungan dengan sebuah hadis yang berbunyi: "Seseorang telah melihat malam Lailatul Qadar pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan, maka Nabi bersabda: "Dapatkanlah malam mulia itu, pada tujuh malam terakhir" (Dengan mempergunakan kata Ra'a). Riwayat Muslim menyatakan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada tujuh malam terakhir sedang riwayat Bukhari ada yang melihat jatuh pada malam ketujuh dan ada yang melihat sepuluh terakhir.Karena perbedaan kalimat pada kedua hadis tersebut (dalam riwayat Muslim mempergunakan kalimat Tawata'a sedangkan riwayat Bukhori tidak mempergunakan kalimat tersebut), timbullah perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menentukan datangnya malam Lailatul Qadar, ada yang mengatakan pada tujuh malam terakhir dan ada juga yang mengatakan sepuluh malam terakhir. Padahal secara tidak langsung bilangan tujuh masuk ke dalam sepuluh, maka Rasulullah pun menentukan bahwa malam Lailatul Qadar jatuh pada tujuh malam terakhir, karena makna Tawaata'a pada hadis yang diriwayatkan Muslim berarti Tawaafuq (sesuai atau sama).Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh di sini adalah tujuh malam terakhir bulan Ramadhan. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ali ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Dapatkanlah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, seandainya kalian kehilangan hari-hari sebelumnya maka jangan sampai kalian melewatkan malam-malam terakhir bulan tersebut"Diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: "Dapatkanlah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, apabila kalian merasa lemah atau tidak mampu melaluinya maka jangan sampai kalian kehilangan tujuh malam berikutnya" Dari berbagai versi hadis yang ada, telah terbukti bahwa Lailatul Qadar jatuh pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.Sebagian ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam dua puluh dua dan paling akhir jatuh pada malam dua puluh delapan, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Dapatkanlah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi malam Lailatul Qadar sendiri jatuh pada malam ke sembilan, tujuh dan lima Ramadhan (bilangan ganjil).Dari riwayat hadis yang berbeda lahirlah pendapat para ulama yang beragam (tidak kurang dari empat puluh pendapat). Malam Lailatul Qadar mempunyai ciri dan keistimewaan tersendiri yang tidak dapat kita kenali kecuali setelah berlalunya malam tersebut. Salah satu ciri atau keistimewaan tersebut adalah; terbitnya matahari seperti biasa akan tetapi memancarkan cahaya redup (tidak bersinar terang seperti biasa), berdasarkan sebuah hadis: dari Zur Bin Hubaisy, ia berkata: "Aku mendengar Ubay Bin Ka'ab berkata: "Barang siapa yang bangun di tengah malam selama satu tahun ia akan mendapatkan Lailatul Qadar" Ayahku berkata: "Demi Allah tidak ada Tuhan selain dia, malam itu terdapat di bulan Ramadhan, demi Tuhan aku mengetahuinya, tapi malam manakah itu? Malam dimana Rasulullah memerintahkan kita untuk bangun untuk beribadah. Malam tersebut adalah malam ke dua puluh tujuh, yang ditandai dengan terbitnya matahari berwarna putih bersih tidak bercahaya seperti biasanya".Diriwayatkan dari Ibnu Khuzaimah dari hadis Ibnu Abbas: "Ketika Lailatul Qadar pergi meninggalkan, bumi tidak terasa dingin, tidak juga panas, dan matahari terlihat berwarna merah pudar" dan dari Hadits Ahmad: "Pada hari itu tidak terasa panas ataupun dingin, dunia sunyi, dan rembulan bersinar" Dari hadis kedua kita dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri tersebut hanya ada pada waktu malam hari.Malam Lailatul Qadar bukanlah malam yang penuh dengan bintang yang bersinar (sebagaimana diperkirakan orang) akan tetapi Lailatul Qadar adalah malam yang mempunyai tempat khusus di sisi Allah. Dimana setiap Muslim dianjurkan untuk mengisi malam tersebut dengan ibadah dan mendekatkan diri padanya.Imam Thabari mengatakan: "Tersembunyinya malam Lailatul Qadar sebagai bukti kebohongan orang yang mengatakan bahwa pada malam itu akan datang ke dalam penglihatan kita sesuatu yang tidak akan pernah kita lihat pada malam-malam yang lain sepanjang Tahun, sehingga tidak semua orang yang beribadah sepanjang tahunnya mendapat Lailatul Qadar" Sedangkan Ibnu Munir mengatakan bahwa tidak sepantasnya kita menghukumi setiap orang dengan bohong, karena semua ciri-ciri tersebut bisa dialami oleh sebagian golongan umat, selayaknya karamah yang Allah berikan untuk sebagian hambanya, karena Nabi sendiri tidak pernah membatasi ciri-ciri yang ada, juga tidak pernah menafikan adanya karamah.Ia meneruskan: Lailatul Qadar tidak selamanya harus diiringi keajaiban atau kejadian-kejadian aneh, karena Allah lebih mulia kedudukannya untuk membuktikan dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Sehingga ada yang mendapatkan malam Lailatul Qadar hanya dengan beribadah tanpa melihat adanya keanehan, dan ada sebagian lain yang melihat keanehan tanpa di sertai ibadah, maka penyertaan ibadah tanpa disertai keanehan kedudukannya akan lebih utama di sisi Tuhan.Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa salah satu ciri datangnya malam Lailatul Qadar adalah melihat segala sesuatu yang ada di bumi ini tertunduk dan sujud ke hadirat-Nya. Sebagian lain mengatakan pada malam itu dunia terang benderang, dimana kita dapat melihat cahaya dimana-mana sampai ke tempat-tempat yang biasanya gelap. Ada juga yang mengatakan orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar dapat mendengar salam dan khutbahnya malaikat, bahkan ada yang mengatakan bahwa salah satu ciri tersebut adalah dikabulkannya do'a orang yang telah diberikannya taufik.

Rahasia Kedatangan Malam Lailatul Qadr
Pada suatu hari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bercerita kepada para sahabatnya tentang pejuang dari Bani Israil yang bernama Sam'un. Selama 1000 bulan atau delapan puluh tiga tahun ia tidak pernah meletakkan senjata atau beristirahat dari perang Fii Sabilillah. Ia hanya berperang dan berperang demi menegakkan agama Allah tanpa mengenal rasa lelah. Para sahabat ketika mendengar cerita tersebut, mereka merasa kecil hati dan merasa iri dengan amal ibadah dan perjuangan orang tersebut. Mereka ingin melakukan amal ibadah dan perjuangan yang sedemikian rupa, tapi bagaimana mungkin untuk melakukannya sedang umur kehidupan mereka jarang yang mencapai usia lebih dari enam puluh atau tujuh puluh tahun. Di dalam hadist disebutkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam: "Usia ummatku sekitar enam puluh atau tujuh puluh tahun". karena itulah mereka bersedih dan kecil hati. Ketika para sahabat sedang berfikir dan merenungkan tentang hal itu, dimana mereka merasa kecil hati karena tidak mungkin berbuat hal yang telah diperbuat oleh orang Bani Israil yang telah disebutkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, maka datanglah malaikat Jibril kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam membawa wahyu dan kabar kembira kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Berkata malaikat Jibril Alaihis Salaam: "Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menurunkan kepadamu ya Rasulullah surat Al Qadr, dimana di dalamnya terdapat kabar gembira untukmu dan ummatmu, dimana Allah menurunkan malam Lailatul Qadr, dimana orang yang beramal pada malam Lailatul Qadr mendapatkan pahala lebih baik dan lebih besar daridari pada seribu bulan. Maka amal ibadah yang di kerjakan ummatmu pada malam Lailatul Qadr lebih baik dari pada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang beribadah selama delapan puluh tahun". Lalu malaikat jibril membacakan surat Al Qadr yang artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemulian (Lailatul Qadr)." "Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan". "malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan". Pada malam itu turun para malaikat dan ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan". "Malam itu penuh kesejahtraan sampai terbit fajar". Maka dengan turunnya wahyu tersebut yang penuh dengan kabar gembira, Rasulullah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya merasa senang dan gembira dengan adanya Lailatul Qadr. Kapankah terjadinya malam Lailatul Qadr ??? Yang pasti Lailatul Qadr terjadi disetiap bulan Ramadhan, sebagaimana yang di sepakati oleh Ulama ahli tafsir. Namun yang menjadi perbedaan pendapat adalah tentang hari apa dan tanggal berapa terjadinya malam Lailatul Qadr? Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa suatu hari Rasulullah menjanjikan para sahabatnya untuk memberitahukan kepada mereka tentang malam keberapa akan terjadanya Lailatul Qadr, akan tetapi karena terjadi perselisihan antara beberapa orang, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala merahasiakan waktu kedatangan Lailatul Qadr di malam malam bulan Ramadhan. Oleh karena itulah para Ulama mengatakan bahwa kedatangan malam Lailatul Qadr ada kemungkinan di awal malam dari bulan Ramadhan atau di salah satu malam di malam-malam bulanRamadhan. Didalam suatu hadist Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang artinya: "Carilah malam lailatul qadar dimalam-malam 10 akhir di bulan Ramadhan". Berkata Al Imam Malik, bahwa kedatangan malam Lailatul Qadr itu di malam-malam 10 akhir dibulan Ramadhan dengan tanpa ada ketentuan tanggal atau malam. Menurut pendapat Imam Syafii, Lailatul Qadr kemungkinan besar datang pada tanggal 21 Ramadhan, dan menurut Sayyidatuna Aisyah Radhiallahu Anha Lailatul Qadr datang pada tanggal 17 Ramadhan, sedangkan Sayyiduna Abu Dzar dan Al Hasan Al basri mengatakan bahwasanya kedatangan malam Lailatul Qadr pada tanggal 25 Ramadhan. Tetapi pendapat paling banyak diantara para sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Kaab dan Al Imam Ahmad bin Hambal didalam riwayatnya bahwa kedatangan malam Lailatul Qadr pada tanggal 27 Ramadhan dan banyak juga dari Ulama Ulama besar yang mengatakan bahwa kedatangan malam Lailatul Qadr dirahasiakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Inilah pendapat-pendapat yang mengatakan tentang kedatangan malam Lailatul Qadr, lalu bagaimana kita menyikapi hal tersebut? Perlu kita ketahui hikmah di rahasiakannya kedatangan malam Lailatul Qadr adalah agar kita Umat Islam berjaga-jaga dan bersiap-siap dengan melakukan ibadah disetiap malam dibulan Ramadhan tanpa harus menentukan satu malam atau menjadikan malam tertentu lebih dari malam lainnya. Kita harus meningkatkan nilai-nilai ibadah kita dibulan Ramadhan dengan prinsip malam ini lebih baik dari malam kemarin dan seterusnya, dan berharap pada Allah SWT agar diberi taufik untuk beribadah pada malam Lailatul Qadr, sehingga kita mendapatkan ucapan salam dari para malaikat yang turun ke bumi dan masuk ke setiap rumah orang-orang mu'min untuk memberikan salam dan mendoakan kepada penghuni rumah. Bahkan di riwayatkan didalam hadist oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam didalam khutbahnya: "Barangsiapa memberikan makanan untuk orang berbuka puasa dari hartanya yang halal maka malaikat memintakan ampunan dari Allah atas dosa-dosanya sepanjang bulan Ramadhan dan disaalmi oleh Jibril Alaihis Salaam dimalam Lailatul Qadr dan barang siapa yang disalami oleh jibril niscaya lembut hatinya dan banyak air matanya". Dan apa bila kita ingin mengetahui apakah rumah kita telah di masuki oleh para malaikat dan kita telah di salami olah malaikat Jibril di malam Lailatul Qadr, maka lihatlah diri kita apakah hati kita lembut apakah mata kita selalu mencucurkan air matanya karena Allah? Maka apabila kita telah dapati hal hal tersebut di diri kita maka kita termasuk didalam golongan orang-orang yang berbahagia yang melebihi orang-orang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil dan kita termasuk didalam golongan orang-orang yang patut untuk dibanggakan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam di hari kiamat nanti di hadapan para Nabi dan Rasul. Di katakan oleh para Ulama bahwa diantara tanda-tanda malam Lailatul Qadr adalah pagi harinya matahari bersinar cerah, tetapi sinarnya tidak terlalu panas dan hari itu penuh dengan ketenangan dan ketenteraman sehingga dikatakan tidak terdengar gonggongan anjing, dan banyak lagi tanda-tanda yang lainnya. Dan juga banyak dari orang-orang yang berhati suci mengetahui kedatangan malam Lailatul Qadr. Sehinngga diriwayatkan didalam hadist bahwasanya istri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam Sayyidatuna Aisyah Radhiallahu Anha bertanya kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam: "Ya Rasulullah apabila aku mengetahui kedatangan malam Lailatul Qadr apa yang aku baca?" Maka menjawab Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam: "Ya Aisyah apabila egkau mengetahui kedatangan Lailatul Qadr maka bacalah ya Allah sesungguhnya engkau maha pengampun dan menyukai ampunan maka ampunilah aku". Dari sini kita mengambil kesimpulan bahwa beberapa orang mengetahui tentang kedatangan malam karena itulah Sayyidatuna Aisyah berkata: "Apabila aku mengetahuinya" dan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam menjawab pertanyaan Sayyidatuna Aisyah sebab apabila pertaanyaan Sayyidatuna Aisyah salah, dan tidak ada orang yang mengetahui kedatangan Lailatul Qadr maka untuk apa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam menjawab pertanyaan Sayyidatuna Aisyah. Oleh karena itulah diriwayatkan oleh ahli sejarah bahwa dibeberapa kota muslim yang penuh dengan Ulama, seperti di negeri Yaman perempuan-perempuan berbincang-bincang dengan sesama mereka (mengosip) dan mereka mengatakan kepada temannya: "Apakah kamu melihat Lailatul Qadr semalam?" Maka temannya menjawab: "Ya aku pun melihatnya". Dan begitulah yang menjadi obrolan mereka di pagi hari Lailatul Qadr.

Keutamaan Lailatul Qadar
Ibn Abbas r.a. meriwayatkan , rasulullah SAW pernah bercerita bahwa beliau mendapat wahyu dari Allah tentang seorang laki-laki Bani Israil yang berjihad di jalan Allah selama seribu bulan tanpa henti. Rasulullah SAW sangat kagum , lalu beliau berdoa, "Tuhanku , Engkau telah menjadikan umatku orang-orang yang pendek usia dan sedikit amalan".Kemudian Allah memberi keutamaan kepada Rasulullah SAW dengan memberikan Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan yang digunakan oleh laki-laki Bani Israil itu berjihad di jalan Allah.Nama laki-laki Bani Israil itu adalah Syam'un (Samson). Ia berperang melawan kaum kafir selama seribu bulan tanpa henti. Ia diberi kekuatan dan keberanian yang membuat musuh-musuhnya ketakutan. Lalu kaum kafir mendatangi istri Syam'un. Mereka membujuk istrinya bahwa mereka akan memberi hadiah perhiasan emas jika ia dapat mengikat suaminya. Menurut perkiraan mereka, Syam'un dapat ditangkap dengan mudah jika dalam keadaan terikat.Ketika Syam'un sedang tidur, secara diam-diam istrinya mengikat badan Syam'un dengan tali. Namun, ketika Syam'un bangun, dengan mudahnya ia memutuskan tali-tali yang mengikat tubuhnya."Apa maksudmu berbuat demikian kepadaku?" tanya Syam'un kepada istrinya."Aku hanya ingin menguji kekuatanmu," jawab istrinya pura-pura. Kaum kafir itu tidak putus asa. Lalu mereka memberi rantai kepada istri Syam'un dan memerintahkannya agar mengikat suaminya dengan rantai itu. Istri Syam'un segera melaksanakannya. Namun, sebagaimana kejadian sebelumnya, dengan mudah Syam'unmemutuskan rantai besi yang mengikat tubunya.Iblis mendatangi kaum kafir, lalu berkata kepada mereka agar memerintahkan istri Syam'un untuk bertanya kepada suaminya di mana letak kelemahannya. Setelah dibujuk, Syam'un mengatakan kepada istrinya bahwa kelemahannya ada pada delapan jambul dikepalanya. Ketika Syam'un tidur, istrinya memotong delapan jambul suaminya itu lalu mengikatkannya pada tubuhnya. Empat jambul digunakan untuk mengikat tangan dan empat jambul lagi untuk mengikat kakinya. Syam'un tidak mampu melepaskan dirinya dari ikatan itu karena itulah kelemahannya.Akhirnya, kaum kafir dapat menangkap Syam'un. Lalu mereka menyiksanya. Telinga dan bibir Syam'un dipotong lalu badannya digantung disuatu tiang yang sangat tinggi. Syam'un berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk melepaskan diri dari penyiksaan musuh-musuhnya. Allah mengabulkan do'a Syam'un, hingga ia dapat melepaskan diri dari tali-tali yang menjeratnya dan menghancurkan tiang yang dipakai untuk menggantungnya . Semua kaum kafir mati tertimpa tiang tersebut.Para sahabat Rasulullah SAW sangat kagum mendengar cerita itu. Mereka bertanya," Ya Rasulullah , dapatkah kami meraih pahala sebagaimana yang diperoleh Syam'un?" "Aku sendiri tidak tahu, " jawab Rasulullah SAW.Kemudian beliau berdoa kepada Allah . Allah mengabulkannya dengan memberi malam Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan yang dipakai Syam'un berjihad di jalan Allah.Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jika datang malam Lailatul Qadar, malaikat Jibril turun ke Bumi diiringi para malaikat yang lain Mereka memberi salam kepada setiap orang yang berzikir kepada Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurayrah, dikatakan bahwa pada malam Lailatul Qadar, para malaikat turun ke Bumi dengan jumlah yang tidak dapat dihitung. Mereka turun dari pintu-pintu langit yang terbuka bagaikan cahaya yang memancar. Terbukalah kerajaan malakut pada saat itu. Bagi orang yang terbuka hijabnya, ia dapat melihat malaikat yang sedang berdiri, rukuk, dan sujud kepada Allah sambil berzikir dan bertasbih. Di antara mereka ada yang dapat melihat surga dan neraka dengan segala isisnya. Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Barangsiapa menghidupkan malam kedua puluh tujuh dari bulan Ramadhan sampai Subuh, hal itu lebih dicintai Allah daripada melaksanakan salat di seluruh malam pada bulan itu."Fathimah bertanya,"Ayah, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu menghidupkan malam itu karena sakit?"Rasulullah SAW menjawab,"Mereka tidak perlu menyingkirkan bantal-bantal mereka, hendaklah mereka duduk lalu berdoa kepada Allah pada malam itu. Itu lebih disukai Allah daripada salat umatku pada malam Ramadhan." Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda," Barangsiapa menghidupkan malam Lailatul Qadar, lalu melaksanakan salat dua rakaat dan memohon ampunan Allah, Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memberikan rahmat-Nya; malaikat Jibrilpun akan membelai dengan sayapnya. Barangsiapa yang dibelai sayap malaikat Jibril, ia akan masuk surga."Dikutip dari buku menyingkap hati mendekati Ilahi, karya Al Ghazali.

Makna Lailatul Qadar
Di antara keistimewaan bulan Ramadhan adalah adanya satu malam yang Allah sebut ''lebih baik daripada seribu bulan''. Malam itu adalah Lailatul Qadar. Secara kebahasaan, kata qadar di dalam Alquran setidaknya dimaksudkan untuk tiga arti: penetapan dan pengaturan, kemuliaan, dan sempit. Berdasarkan arti pertama, Lailatul Qadar berarti suatu malam di mana segala hal yang menyangkut alam dunia ini ditetapkan dan diatur. Maka, Lailatul Qadar dalam pengertian ini adalah penetapan kembali sejarah kehidupan manusia. Karena, ia adalah awal penetapan kembali takdir Allah, maka umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa dianjurkan bertadarus Alquran sebanyak mungkin, beriktikaf, dan ibadah-ibadah lain seperti dicontohkan Rasulullah.Tadarus Alquran berarti memahami segala kandungan Alquran secara menyeluruh, tidak sepotong-sepotong. Sehingga, Alquran benar-benar menjadi bagian dalam hidup kita yang hakiki. Selain itu, Nabi juga menganjurkan memperbanyak iktikaf di dalam masjid. Ini yang selalu beliau praktikkan terutama pada 10 hari terakhir Ramadhan. Dalam iktikaf, seseorang dianjurkan memperbanyak evaluasi dan introspeksi diri, menyadari segala kesalahan yang lalu, dan merenungi kebesaran Allah. Selanjutnya memandang masa depan secara positif, bertekad memperbaiki diri sendiri untuk tidak melakukan berbagai dosa dan kesalahan. Pada saat yang sama, bertekad meningkatkan amaliah sehari-hari yang diridhai Allah.Lailatul Qadar menurut makna kedua yaitu kemuliaan. Surat Al-Qadar menjelaskan kemuliaan ini adalah disebabkan adanya berbagai peristiwa istimewa. Di antaranya peristiwa turunnya Alquran. Karena Lailatul Qadar merupakan diturunkannya Alquran di samping malam ditetapkannya segala sesuatu, maka hakikatnya ia lebih baik dari apa pun juga. Alquran menggambarkannya dengan hitungan seribu bulan. Artinya, bahwa ketika seseorang dalam perenungannya memahami kebesaran Allah dengan membaca ayat demi ayat Alquran beserta memahami maknanya, maka saat itulah momen Lailatul Qadar akan menemuinya. Malam itu tidak akan menemui orang-orang yang belum siap, dalam artian bahwa jiwanya belum mampu untuk menerimanya. Ia hanya menghampiri orang-orang yang sejak awal Ramadhan benar-benar telah siap, yaitu orang-orang yang selalu menghidupi malam-malamnya dengan ibadah kepada-Nya.Makna ketiga dari kata qadar adalah sempit. Ia dikatakan sempit karena banyaknya malaikat Allah yang turun memberikan ketenangan dan kedamaian pada jiwa manusia hingga waktu pagi datang. Mengenai malaikat yang turun ini, ulama Muhammad Abduh mengilustrasikan mereka sebagai bisikan yang baik. Turunnya malaikat pada Lailatul Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia selalu disertai oleh malaikat, sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan kedamaian yang tidak terbatas sampai fajar Lailatul Qadar, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.